Tangan Muda Mapala dan Sispala Penjaga Harapan Banjir Bandang Sumatera 

Editor: Yopi Herwindo

Berita32 Dilihat

 

PANGKALPINANG — Puluhan anggota Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA) dan Siswa Pencinta Alam (SISPALA) di Bangka Belitung menggelar aksi galang dana untuk korban banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Minggu (7/12/2025). Dari aksi turun langsung ke jalan dan donasi rekening, mereka berhasil mengumpulkan Rp6.246.600 yang segera disalurkan kepada warga terdampak bencana.

 

Gerakan ini digerakkan oleh berbagai komunitas pecinta alam: KOPASSAS Babel, KOMPAS UBB, PETA ALUR, GEMPAL UNMUH Babel, SISPALA GASIPA SMK 1 Mendo Barat, dan PASGAM SMA Muhammadiyah Toboali. Aksi tersebut menjadi penegasan bahwa solidaritas generasi muda dapat bergerak lebih cepat daripada birokrasi formal.

 

Menurut Ridho Azhari, Koordinator PKD Mapala Babel, aksi ini lahir dari kesadaran bahwa “alam adalah rumah bersama, dan ketika rumah itu terluka, siapapun wajib datang membantu.”

 

Sejak pagi hujan mengguyur halaman gedung putih tempat para relawan berkumpul. Pakaian lapangan mereka basah di ujungnya, beberapa bahkan menggigil. Namun semangat mereka tidak surut. Dalam foto yang diabadikan, wajah-wajah muda itu tetap tersenyum-senyum yang menyiratkan rasa lega setelah berbuat sesuatu bagi sesama.

 

Kotak donasi yang lembap oleh embun hujan, plastik bening yang mengelupas akibat angin, dan kertas bertuliskan “Peduli Bencana Aceh – Sumut – Sumbar” menjadi saksi kerja keras mereka seharian penuh mengetuk kaca mobil, menyapa warga, dan mengajak siapa pun menyalurkan empati.

 

Aksi ini memunculkan pemandangan unik barisan remaja SMA berdiri sejajar dengan mahasiswa. Sandal gunung, celana lapangan yang belum kering, wajah lugu yang masih memancarkan masa remaja semuanya menjelma simbol tanggung jawab.

 

“Kami bawa bukan hanya uang,” ujar Vioni Rahmawati dari KOMPAS UBB. “Kami membawa pesan bahwa kepedulian tidak mengenal jarak pulau.”

 

Variasi syal hijau, biru, krem, dan oranye milik masing-masing komunitas menciptakan mozaik solidaritas yang kuat. Semua berbeda identitas, tetapi satu dalam tujuan.

 

Dana yang terkumpul akan berubah menjadi selimut untuk ibu yang kehilangan rumah, makanan hangat bagi anak-anak yang malamnya digantikan suara banjir, tenda sementara bagi keluarga yang kini tidur di halaman masjid, dan setitik rasa aman bagi mereka yang kehilangan banyak.

 

Bantuan ini mungkin tidak menghapus air mata duka, namun cukup untuk menghapus satu-dua kesulitan hari itu dan itulah yang membuat langkah para relawan muda ini pulang lebih ringan.

 

Kegiatan rombongan yang mereka abadikan menyimpan makna lebih dari sekadar dokumentasi. Ia adalah manifestasi bahwa Indonesia masih memiliki generasi yang tidak menunggu, tetapi bergerak. Generasi yang mencintai alam dan manusia di atasnya. Generasi yang memahami bahwa solidaritas bukan kegiatan organisasi, tetapi naluri paling manusiawi.

 

Di tengah riuh bencana dan ketidakpastian negeri, aksi kecil dari Bangka Belitung ini menjadi propaganda positif bahwa harapan negeri masih dijaga oleh tangan-tangan muda.

 

Mereka tidak berdiri untuk meninggikan nama komunitas mereka, tetapi untuk memastikan harapan korban bencana di Sumatra tidak padam.

 

Dari Bangka Belitung, mereka mengirim pesan kuat yang lebih lantang daripada spanduk apa pun:

 

“Kami bersama kalian.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *