💥Honor “Suamiku Lukaku” di Bangka: Sekadar Uang Rokok atau Pintu Gerbang Mimpi? (Atau Ruang Eksploitasi Sinemart dan Jam Karet Pembayaran yang Bikin Geram?)💥

 

Bangka Barat, BN16 BANGKA – Gemerlap lampu sorot film “Suamiku Lukaku” garapan Sinemart Production di Masjid Jami, Mentok, menyisakan pertanyaan klasik yang kian mendalam: berapa pundi-pundi yang mengalir ke kantong para ekstras? Data yang dihimpun BN16 BANGKA, berdasarkan keterangan dari Koordinator Talent lokal yang enggan disebut namanya, menunjukkan untuk sesi syuting kedua ini, para pemeran latar menerima konsumsi penuh (sarapan, makan siang, makan malam), biaya harian Rp 50.000, tambahan Rp 50.000 jika berdekatan dengan artis, dan Rp 200.000 bagi dua pria beruntung yang kebagian dialog.

 

Angka-angka ini, jika diletakkan di meja perbandingan, tampak seperti tetesan embun di gurun pasir bila disandingkan dengan standar honor di kota-kota besar produksi film. Di Jakarta atau Yogyakarta, honor ekstras tanpa dialog bisa merangkak dari Rp 100.000 hingga Rp 250.000 per hari, tergantung durasi dan tingkat kesulitan adegan. Sementara itu, untuk ekstras dengan dialog singkat, angkanya bisa melonjak signifikan, bahkan mencapai jutaan rupiah jika peran tersebut memiliki bobot yang cukup.

 

Perbedaan ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan cermin dari ekosistem industri film yang berbeda. Di daerah, produksi film kerap berjuang dengan anggaran minim, memanfaatkan potensi lokal dengan segala keterbatasannya. Honor yang “seadanya” ini seringkali dijustifikasi sebagai bagian dari proses pembelajaran, pengalaman berharga, atau sekadar kontribusi pada geliat perfilman daerah. Namun, ada bisikan-bisikan nakal dari sumber kami, yang menyebut Sinemart Production sengaja menghambat proses pembayaran. Honor yang seharusnya langsung dibayarkan setelah syuting rampung, malah baru cair menjelang tengah malam.

 

“Jam 22.55 ku sampai rumah bang, setengah 11 lah bang di bayar e,” keluh koordinator talent tersebut, menggambarkan betapa lamanya mereka menunggu. Padahal, ada kesepakatan bahwa honor akan langsung dibayarkan setelah syuting selesai pada sesi kedua di Masjid Jami’ tersebut. Proses ini bukanlah yang pertama, sebab pada pembayaran sebelumnya pun, para ekstras harus menunggu hingga pukul 8 malam lewat, bahkan harus ditalangi terlebih dahulu oleh koordinator talent. Penantian berjam-jam ini tentu menguras tenaga dan kesabaran, mengingat mereka sudah beraktivitas sejak pagi.

 

“Yang kemaren di lebih die 200 untuk ngasih ku bang biar tetap Ade ekstras hari ni, dak kawah la ku misal nak bayaran ekstras naikin agik 300/ talent ku bilang kalo dak ku mundur, langsung bilang maaf die,” ujar sang koordinator talent. Ia juga menambahkan, “Dirik yang dak de kontrak tibe-tibe megang job koordinator talent tanpa dibayar produksi.” Ini menunjukkan adanya kejanggalan dalam sistem kerja sama yang tidak transparan. “Yang jadi masalah ni kan antara produksi dan kepala e cuma pake mulut bang ngobrol dak de kejelasan e, kemaren jak untuk surat dari PH tu kalo dak ku minta dak de diorang nak ngeluarin.” Bahkan, koordinator talent ini mengaku dirinya tidak bisa memastikan berapa honor pasti yang akan diterima, karena angka-angka itu baru muncul saat produksi tiba di lokasi.

 

Melalui percakapan WhatsApp, salah satu figuran kawakan yang tak ingin disebutkan namanya, yang pernah ikut dalam produksi lain, mengatakan bahwa ini bukan kali pertama produksi film berlokasi di Kota Mentok. Di era Bupati Pak Parhan Ali tahun 2010, Frame Ritz Production untuk FTV SCTV pernah membuat dua judul film di Mentok dengan judul “Ada Cinta di Kota Mentok” dan “Bidadari dari Bangka Barat”. Menurutnya, walaupun hanya kelas sinetron, mereka sangat profesional dan menghargai talenta ekstras serta figuran lokal. Mereka membayar hak dan kompensasi talenta lokal sesuai standar honor talenta nasional. Sedangkan PH Sinemart atau produksi film kali ini, yang notabene lebih akbar karena ini kelas layar lebar yang dikomersilkan ke bioskop-bioskop, bukan lagi kelas sinetron FTV, kenyataannya di lapangan mereka tidak profesional dan tidak menghargai kontribusi serta jerih payah talenta Bangka Barat.

 

Padahal, menurut beberapa informasi yang dikumpulkan BN16 BANGKA, Pemerintah Daerah Bangka Barat sudah menunjukkan dukungan penuh terhadap acara ini. Fasilitasi berupa mobil kendaraan dinas dan berbagai bantuan lainnya telah diberikan, seolah menegaskan bahwa karpet merah sudah dibentangkan.

 

Ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kunjungan produksi film layar lebar ke daerah-daerah seperti Mentok ini murni sebagai upaya promosi pariwisata, ataukah sekadar ruang eksploitasi produksi film? Ketika honor yang diberikan terkesan jauh di bawah standar kota besar, dan proses pembayaran pun dihambat dengan “jam karet” yang merugikan para pekerja, narasi promosi pariwisata bisa jadi hanya alibi. Seakan-akan, pesona lokal dieksploitasi tanpa timbal balik yang setimpal bagi para pekerja seni di garis depan.

 

“Pokok e ni jangan aben ekstras e lom di bayar sudah scene pasar, soal e abis ni mereka ke tanjung kalian dan kemungkinan langsung geser ke Pangkal bang,” ungkap kekhawatiran koordinator talent, menyoroti kemungkinan pembayaran kembali molor mengingat jadwal syuting yang padat hingga berpindah lokasi. Ia bahkan telah “membebaskan” para ekstras untuk menagih pembayaran honor mereka sendiri, menggambarkan keputusasaan dalam menghadapi pola pembayaran yang tidak jelas.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah honor ini cukup untuk sekadar “uang rokok” atau justru mampu menopang mimpi para pemuda Mentok yang ingin mencicipi manis-pahitnya dunia layar lebar? Atau ini hanya tamparan halus, bahwa berkreasi butuh lebih dari sekadar semangat, ia butuh apresiasi yang layak? Dan yang tak kalah penting, mengapa proses pembayaran yang seharusnya transparan dan cepat, justru seolah sengaja diperlama oleh pihak produksi, padahal dukungan dari pemerintah daerah begitu nyata?

 

#HonorExtrasFilm #SuamikuLukaku #SinemartProduction #IndustriFilmLokal #BangkaBelitung #PerbandinganHonor #BN16Bangka #EkonomiKreatif #TransparansiPembayaran #DukunganPemerintahDaerah #EksploitasiProduksiFilm #PembayaranMolor #KetidakjelasanKontrak #ProfesionalismeProduksiFilm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *