⚖️ Negara Kalah di Laut: Kontradiksi Filosofi UUD 1945 vs. Cukong Tambang Ilegal Tembelok–Keranggan

Editor: Yopi Herwindo

BANGKA BARAT, BN16 BANGKA 

BANGKA BARAT — Realitas penegakan hukum di perairan Tembelok–Keranggan, Bangka Barat, menunjukkan ironi yang bertolak belakang dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Alih-alih dikelola negara untuk kemakmuran rakyat secara adil dan berkelanjutan, kekayaan alam berupa timah di laut Mentok justru dikuasai oleh jaringan ilegal, lengkap dengan skema pungutan liar terstruktur yang menantang wibawa hukum.

Skema Pungli dan “Legalitas Semu”

Aktivitas penambangan timah ilegal di perairan Tembelok–Keranggan kian merajalela dan terorganisasi. Informasi yang beredar di grup WhatsApp Keranggan Jaya mengungkapkan adanya “setoran awal” sebesar Rp800.000 per ponton bagi penambang yang ingin beroperasi.

Pesan yang ditulis akun Ajang Mentok pada Rabu (29/10/2025) pagi, pukul 07.12 WIB, secara terbuka menyebut: “Hari ini Keranggan jalan, sistem ambil bendera di Pospam bayar 800 ribu, timah bebas, nek jual kemane.”

Dokumen pembagian dana Rp800 ribu tersebut bahkan merinci alokasi setoran, termasuk untuk Operasional (Rp100 ribu), Masyarakat (Rp500 ribu), Pemuda (Rp100 ribu), Ibu-ibu (Rp50 ribu), hingga Janda, lansia, anak yatim, dan rumah ibadah (Rp50 ribu). Yang mengejutkan, dokumen itu mencantumkan pihak Kelurahan Keranggan sebagai pihak yang “mengetahui”, menandakan meluasnya jaringan aktivitas ilegal ini ke struktur pemerintahan dan sosial setempat.

📜 Pelanggaran Hukum dan Kerusakan Lingkungan

Secara hukum, kegiatan ini adalah pelanggaran berat karena:

* Melanggar Zonasi: Kawasan Mentok–Tembelok–Keranggan–Teluk Inggris ditetapkan sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Alur Pelayaran, dan Konservasi Mangrove dalam Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K, bukan zona pertambangan.

* Tindak Pidana: Aktivitas ini menabrak UU Nomor 2 Tahun 2025 (Perubahan UU Minerba) yang menegaskan bahwa penambangan tanpa izin resmi adalah tindak pidana.

Sementara itu, pengelolaan kekayaan negara (termasuk penjualan aset negara seperti timah yang harusnya melalui mekanisme legal) diatur secara rinci dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (seperti PP No. 27 Tahun 2014 jo. PP No. 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah), dan peraturan menteri, yang menekankan pada prinsip: mendapatkan nilai optimal, memperhatikan kepentingan umum, dan dilakukan secara transparan serta akuntabel.

Kontras dengan prinsip UUD 1945 dan peraturan di bawahnya, penambangan ilegal ini justru merusak lingkungan dan merugikan nelayan tradisional. Sebagaimana keluhan nelayan tua, M. Hadi, “Laut yang dulu kami jadikan tempat mencari hidup, sekarang rusak. Ikan makin jauh, air makin keruh.”

🚨 Aparat ‘Kuat di Kertas, Lemah di Laut’

Kapolres Bangka Barat, AKBP Pradana Aditya Nugraha, SH., SIK., menyatakan akan menindaklanjuti informasi tersebut dan menegaskan bahwa lokasi tersebut bukan zona pertambangan. Upaya penertiban juga diklaim sudah dilakukan oleh Kapolsek Mentok dan Kasatpolair Polres Bangka Barat.

Namun faktanya, himbauan dan tindakan aparat seolah-olah hanyalah formalitas karena ponton-ponton tambang tetap beroperasi hingga Kamis dini hari. Sosok Ajang, yang disebut-sebut sebagai “cukong timah” di wilayah tersebut, tetap bebas beraktivitas, menimbulkan narasi getir di kalangan masyarakat bahwa “Hukum yang Tak Bertaji di Laut” dan Negara kalah oleh Cukong.

Realitas di Tembelok–Keranggan menjadi simbol kegagalan penegakan hukum di pesisir, di mana jaringan ekonomi gelap beroperasi sebagai otoritas de facto, sementara kedaulatan hukum dan hak nelayan terpinggirkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed