BN16 BANGKA
Bangka Belitung – Belum genap satu bulan sejak penandatanganan Pakta Integritas pengawasan distribusi timah oleh berbagai institusi negara, publik kembali disuguhi ironi pahit: pengiriman pasir timah ilegal dari Pulau Belitung ke Bangka secara terang-terangan tetap terjadi. Dan kali ini, aroma keterlibatan aktor besar semakin kuat tercium. Rabu (30/7/2025).
Berdasarkan informasi dari manifes kapal feri yang berlayar dari Pelabuhan Tanjung Ru, Belitung, menuju Pelabuhan Sadai, Toboali, Bangka Selatan pada Selasa (29/7/2025) pukul 02.30 WIB, tercatat lima unit truk masing-masing memuat sekitar 10 ton pasir timah.
Truk-truk ini diduga kuat membawa pasir timah dari luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sah, dan disebutkan tujuan akhir muatan tersebut adalah PT Mitra Stania Prima (MSP) — sebuah smelter besar yang beroperasi di kawasan industri Jelitik, Sungailiat.
Nomor polisi truk yang tercatat dalam manifes adalah sebagai berikut:
• AA 8320 XX (sopir: Wandi/Yudi)
• BN 8210 XX (sopir: Abeng)
• K 1467 XX (sopir: Legging/Geli)
• BN 5361 XX (sopir: Sandi)
• W 9472 XX (sopir: Eki)
Sumber terpercaya dari jaringan media ini mengungkap bahwa pengiriman ini bukan kejadian tunggal, melainkan bagian dari pola sistematis yang sudah berlangsung lama.
“PT MSP bukan baru sekali menerima kiriman dari luar IUP. Aktivitas seperti ini terkesan dibiarkan bahkan mungkin dilindungi. Diduga kuat dokumen kapal dimanipulasi. Ada permainan internal, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum ASDP. Bahkan kejaksaan bisa jadi berada dalam tekanan,” ujar narasumber kami yang meminta identitasnya disamarkan, Selasa (29/7/2025).
Nama PT MSP pun kembali menjadi sorotan. Perusahaan ini sebelumnya disebut-sebut memiliki afiliasi kuat dengan jejaring bisnis tambang yang dikelola Herwindo, keponakan dari tokoh nasional Hasyim Djojohadikusumo dan juga Presiden RI Prabowo Subianto.
Jika benar, maka kasus ini tidak hanya menyentuh soal pelanggaran hukum, tetapi juga konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terstruktur.
Pakta Integritas yang Terancam Kehilangan Wibawa
Ironisnya, pelanggaran ini terjadi tidak lama setelah Kejaksaan Agung menggagas dan menyaksikan langsung penandatanganan Pakta Integritas pada 27 Juni 2025 di Jakarta. Pakta tersebut melibatkan PT Timah Tbk, KSOP, Pelindo, Dinas Perhubungan Belitung, serta aparat penegak hukum.
Tujuannya jelas: menekan kebocoran negara dari distribusi ilegal timah, memperketat tata kelola, dan membangun sinergi pengawasan lintas lembaga.
Namun apa daya, satu bulan berselang, realita justru memperlihatkan bahwa komitmen tersebut tak lebih dari seremoni elit yang kehilangan nyawa di lapangan. Fakta keberangkatan lima truk bermuatan timah ilegal menunjukkan bahwa penandatanganan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan implementasi maupun keberanian menindak.
“Kalau begini terus, publik akan kehilangan kepercayaan pada komitmen negara. Pakta integritas itu jadi hanya simbol. Negara seolah absen dalam menjaga sumber daya alamnya sendiri,” lanjut narasumber KBO Babel.
Kerugian Negara dan Ancaman terhadap Keadilan Ekonomi
Distribusi pasir timah ilegal tidak hanya merusak tatanan hukum dan mengangkangi sistem perizinan, tetapi juga menyebabkan kerugian besar terhadap pendapatan negara. Setiap ton pasir timah yang diproses di luar jalur resmi berarti potensi royalti dan pajak yang hilang.
Dalam konteks ekonomi daerah seperti Bangka Belitung yang menggantungkan diri pada sektor tambang, praktik seperti ini adalah bentuk perampokan terhadap hak rakyat.
Lebih dari itu, perusahaan resmi yang taat aturan menjadi korban persaingan tidak sehat. Smelter yang tidak selektif menerima timah dari luar IUP, jika tidak ditindak, akan menjadi pusat akumulasi kegiatan ilegal berskala besar.
Kebutuhan Akan Tindakan Tegas
Kini, sorotan tertuju kepada Kejaksaan, Kepolisian, KSOP, ASDP, dan semua pihak yang menandatangani pakta integritas tersebut. Apakah mereka akan tetap diam, atau mulai bergerak menindak pelanggaran yang sudah terang-terangan ini?
Karena jika tidak, maka publik akan berkesimpulan: ada skenario pembiaran, atau lebih buruk lagi, keterlibatan diam-diam dari institusi yang seharusnya menjadi benteng hukum.
Redaksi saat ini masih berupaya melakukan konfirmasi dan meminta klarifikasi dari pihak manajemen PT MSP, PT Timah, Kejari Belitung, KSOP, ASDP Perwakilan Belitung, serta institusi lainnya. Ruang hak jawab akan disediakan sesuai ketentuan Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagai bagian dari prinsip jurnalistik yang adil dan berimbang.
Namun, yang tidak bisa dibantah adalah: selama penegakan hukum lemah, dan pengawasan dikompromikan oleh kepentingan bisnis dan kekuasaan, maka pelanggaran akan terus terjadi. Dan rakyat akan terus jadi korban. (Juli Ramadhani/KBO Babel)