BN16 BANGKA
*JAKARTA —* Kasus dugaan pelanggaran disiplin profesi yang menjerat *dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes.* kini bergeser dari ruang penyidikan ke *Mahkamah Konstitusi (MK)*. Melalui kuasa hukumnya, *Hangga Oktafandany*, dokter spesialis anak tersebut mengajukan *permohonan pengujian materiil Pasal 307* Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap *Pasal 27 ayat (1)* dan *Pasal 28D ayat (1)* Undang-Undang Dasar 1945.
Permohonan itu teregister dalam *Perkara Nomor 175/PUU-XXIII/2025* dan dibacakan dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan di *Ruang Sidang MK*, Kamis (23/10/2025).

Ratna menilai *frasa “Putusan dari Majelis” dalam Pasal 307 UU Kesehatan** telah menimbulkan *ketidakadilan dan diskriminasi hukum*, karena menutup ruang bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan peninjauan kembali atas *rekomendasi Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP KKI)*.
> “Berlakunya kewenangan absolut rekomendasi MDP KKI menyebabkan kriminalisasi berjalan tegak di tubuh kolegium kedokteran, dan Pemohon adalah korban langsung kekejaman itu,” ujar Hangga dalam sidang.
Menurut Ratna, rekomendasi MDP KKI itulah yang dijadikan dasar oleh penyidik *Ditreskrimsus Polda Kepulauan Bangka Belitung* untuk menetapkannya sebagai **tersangka*.
*Rekomendasi Jadi Jerat Hukum*
Ratna menjelaskan, semua berawal dari permintaan penyidik kepada MDP KKI untuk menilai apakah dirinya melanggar standar profesi.
Tanpa adanya persidangan disiplin, berita acara pemeriksaan, maupun putusan resmi, *MDP KKI mengeluarkan surat rekomendasi* yang menyatakan dirinya melanggar standar profesi dan perlu diteruskan ke penyidikan.
Anehnya, dari delapan nama dokter yang diperiksa, hanya nama Ratna yang direkomendasikan untuk dilanjutkan ke penyidikan. Tujuh lainnya tidak diberikan status apa pun.
> “Apa yang membedakan saya dengan mereka? Bahkan standar profesi yang disebut dilanggar belum ditetapkan oleh Menteri sebagaimana ketentuan undang-undang,” ujar Ratna melalui kuasa hukumnya.
Bagi Ratna, kondisi tersebut bukan hanya bentuk *diskriminasi*, tetapi juga *pelanggaran hak konstitusional* karena ia tidak memiliki kesempatan menguji kembali rekomendasi tersebut.
*Pasal yang Dipersoalkan*
Pasal 307 UU Kesehatan menyebutkan bahwa *Putusan dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal: (a) ditemukan bukti baru; (b) kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau (c) terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”*
Namun, menurut Pemohon, pasal tersebut *hanya mengatur putusan*, bukan *rekomendasi* dari majelis, padahal dalam praktiknya justru rekomendasi itulah yang memiliki konsekuensi hukum berat.
Dalam *petitumnya*, Ratna meminta MK menambahkan frasa *“dan/atau rekomendasi dari majelis”* setelah kata “putusan dari majelis”, sehingga setiap rekomendasi MDP KKI dapat diajukan *peninjauan kembali ke Menteri Kesehatan*.
> “Dengan tambahan frasa itu, ruang koreksi terbuka, dan potensi kriminalisasi terhadap dokter akan berkurang,” tegas Hangga.
Ia menambahkan, permohonan ini juga bertujuan mencegah praktik *pemerasan* dalam penyelesaian pelanggaran disiplin. Ratna mengaku pernah diminta *uang damai sebesar Rp2,8 miliar* agar kasusnya tidak berlanjut.
*Ruang Keadilan bagi Profesi Medis*
Ratna saat ini tidak ditahan, tetapi harus *wajib lapor* seminggu sekali ke Polda Babel.
Ia menyebut, meskipun tidak di balik jeruji, status tersangka tetap menjadi bentuk perampasan kebebasan dan menghambat niatnya melanjutkan *pendidikan subspesialis*.
> “Saya tidak mencari keistimewaan. Saya hanya ingin hak yang sama di hadapan hukum, agar rekomendasi MDP KKI tidak bisa lagi menjadi alat menekan para dokter,” ungkapnya.
Kuasa hukum Ratna berharap *Mahkamah Konstitusi* melihat substansi keadilan dalam perkara ini.
Sebab, menurutnya, kewenangan absolut MDP KKI tanpa mekanisme koreksi justru melanggar *prinsip due process of law* dan *hak untuk membela diri** yang dijamin konstitusi.
> “Apabila MK mengabulkan permohonan ini, maka keseimbangan antara MDP KKI dan kolegium kedokteran akan tercipta. Tidak ada lagi ketakutan bahwa rekomendasi majelis bisa langsung menyeret seseorang ke penyidikan,” tegas Hangga.
*Menanti Putusan MK*
Sidang pemeriksaan perbaikan permohonan ini menjadi langkah awal dari perjuangan Ratna mencari keadilan konstitusional.
Dalam konteks lebih luas, uji materi ini juga menjadi ujian terhadap tata kelola *penegakan disiplin profesi medis di Indonesia*, agar tidak lagi menempatkan dokter sebagai pihak yang rentan dikriminalisasi oleh interpretasi administratif.
Jika Mahkamah Konstitusi kelak mengabulkan permohonan tersebut, konsekuensinya tidak hanya bagi Ratna, tetapi juga *bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia*.
Frasa tambahan “dan/atau rekomendasi dari majelis” akan menjadi **penyeimbang sistem hukum kedokteran*, membuka ruang peninjauan kembali, dan menutup peluang penyalahgunaan kewenangan.
Ratna menutup pernyataannya dengan nada harap:
> “Saya percaya, Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir keadilan. Semoga dari sini, profesi dokter kembali terlindungi dan tidak lagi dijadikan korban dari tafsir sepihak.”
(Sumber: Mahkamah Konstitusi RI)
(Editor KBO Babel)






