Penulis: Yopi Herwindo
Pimpred: BN16 BANGKA.COM
Jebus,Bangka Barat-Ratusan hektare lahan negara dengan status vital, mulai dari bekas tambang untuk reklamasi PT Timah, cadangan cetak sawah, hingga kawasan Hutan Produksi (HP), diduga kuat menjadi sasaran empuk praktik mafia tanah yang melibatkan oknum warga dan pengusaha di Desa Limbung, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat.
Aksi ini terungkap dalam sebuah rapat musyawarah di depan Kantor Desa Limbung, yang memicu penolakan keras dari sebagian warga setempat. Kasus ini telah dilaporkan ke pihak berwajib, termasuk Tipikor Polres Bangka Barat, namun tindak lanjutnya masih dipertanyakan.
Dugaan Tiga Kasus Penjualan Lahan Strategis yang Mencekik Warga
Data yang dihimpun menyebutkan sedikitnya ada tiga kasus penjualan lahan yang meresahkan, dengan nilai transaksi yang diduga fantastis dan melibatkan jaringan oknum warga serta pengusaha dari luar desa.
1. Penjualan Lahan Reklamasi PT Timah dan Cadangan Sawah (17 Hektare)
Lahan seluas 17 hektare di wilayah Air Kendung/Putat, yang berbatasan dengan Desa Tumbak Petar, telah dijual oleh oknum warga berinisial Romani cs.
* Status Lahan: Lahan ini memiliki status ganda yang krusial:
* Cadangan Sawah: Diusulkan sebagai area persiapan persawahan untuk warga Desa Limbung.
* Reklamasi PT Timah: Berstatus APL (Areal Penggunaan Lain) eks tambang dan tengah diajukan untuk program reklamasi penghijauan oleh PT Timah.
* Transaksi: Dijual dengan harga belasan juta Rupiah per hektare kepada pengusaha berinisial Abuy (warga Parit Tiga) melalui tangan kanan berinisial Haji Ayin (warga Johar).
* Dampak: Penjualan ini menimbulkan penolakan dari sebagian warga yang merasa dirugikan karena status lahan yang strategis untuk kepentingan umum dan lingkungan.
2. Lahan Cadangan Sawah Dijual Rp 500 Juta (Lebih dari 20 Hektare)
Kasus kedua melibatkan lahan cadangan/persiapan cetak persawahan yang sudah diusulkan sejak tahun 2017 untuk warga Limbung, namun belum terealisasi oleh Dinas Pertanian.
* Status Lahan: Cadangan Persawahan.
* Lokasi: Tungkal Petaling dan Rerawai Besar, dekat perbatasan Desa Kacung.
* Transaksi: Oknum warga berinisial Mardi diduga menjual lahan seluas lebih dari 20 hektare kepada pengusaha berinisial Agat (warga Puput Parit Tiga) melalui perantara Hamdan (warga Limbung).
* Nilai: Uang hasil transaksi dikabarkan mencapai Rp 500 juta yang dibayarkan kepada oknum Mardi.
3. Penjualan dan Perkebunan Ilegal di Hutan Produksi (HP) (Lebih dari 100 Hektare)
Pelanggaran paling serius terjadi di kawasan Hutan Produksi (HP) Padang Puding.
* Status Lahan: Hutan Produksi (HP).
* Area: Diperkirakan seluas lebih dari 100 hektare.
* Modus: Dijual beli oleh oknum warga berinisial Ong cs kepada pengusaha melalui perantara Hamdan.
* Pemanfaatan Ilegal: Sebagian lahan HP dikelola tanpa izin untuk perkebunan kelapa sawit oleh oknum warga Dusun Petar, Desa Tumbak Petar, berinisial Suari dan Ganda.
* Laporan: Tindakan ini dilakukan tanpa izin dari pihak KPHP Jebu Bembang Antan (JBA).
Akibatnya, warga, Pemerintah Desa (Pemdes), dan BPD telah melaporkan oknum-oknum tersebut ke KPHP JBA dan Tipikor Polres Bangka Barat.
Jerat Hukum untuk Mafia Tanah:
Tindakan jual beli, penguasaan, dan penggarapan lahan negara seperti Hutan Produksi (HP), lahan reklamasi, dan cadangan sawah secara ilegal dapat dijerat dengan berbagai undang-undang di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kehutanan dan tindak pidana korupsi.
1. UU Kehutanan (Terhadap Hutan Produksi/HP)
Tindakan menguasai, mengerjakan, dan/atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah dapat dijerat dengan:
* Pasal 50 Ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja)
* Larangan: Setiap orang dilarang mengerjakan dan/atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah.
* Sanksi Pidana:
* Pasal 78 Ayat (2) UU Kehutanan: Dijerat pidana penjara maksimum 10 tahun dan denda maksimum Rp 5 miliar.
2. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Penjualan lahan negara/cadangan strategis secara melawan hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara (karena status lahan yang hilang/berubah) dapat dijerat dengan:
* Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
* Menjerat setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
* Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
* Menjerat setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
3. UU Agraria/Perdata (Terhadap Lahan Cadangan Sawah)
Tindakan penjualan lahan cadangan sawah dapat melanggar peraturan teknis terkait tata ruang dan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan, yang seringkali diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
TUNTUTAN: SATGAS PKH HARUS TURUN TANGAN!
Mengingat kompleksitas status lahan (melibatkan PT Timah, Dinas Pertanian, dan KPHP) serta adanya indikasi kerugian negara dan konflik horizontal di masyarakat, maka:
Satgas PKH (Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Tanah) wajib segera usut tuntas jaringan
mafia tanah di Desa Limbung.
Kepala Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) yang dilaporkan sudah turun ke lapangan didesak untuk segera memberikan kepastian dan tidak lanjut hukum.
Transaksi ilegal atas lahan strategis yang semestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat (sawah) dan lingkungan (reklamasi/hutan) harus dihentikan dan para pelaku, termasuk oknum warga dan pengusaha, harus diseret ke meja hijau. Kepastian hukum adalah harga mati!










