*Ketika Rompi Oranye Mengguncang Hati Profesi*

Editor: Yopi Herwindo

 

Oleh : DR. Dr. Sutrisno, Sp.OG(K), Ketua IDI Wilayah Jawa Timur / Waketum PB IDI

“Medicine is a science of uncertainty and an art of probability.”- Sir William Osler.

 

Jaktim – Hari ini saya menerima sebuah kabar yang membuat hati saya serasa diremas perlahan. Seorang dokter spesialis anak, sebut saja dr. R, dikenakan rompi oranye, rompi tahanan polisi. Ia digiring ke kejaksaan untuk diproses sebagai tersangka, dituduh melakukan malpraktik. Sebuah gambar yang terasa asing, ganjil, dan tidak seharusnya menjadi bagian dari dunia yang saya kenal. Dunia pengabdian. Dunia penyelamatan nyawa. Dunia profesi dokter.

Melihat rompi oranye itu, saya merasakan sesuatu yang sulit saya sebutkan. Bukan hanya sedih, bukan hanya marah, bukan hanya bingung. Ada gundah yang menyelinap seperti kabut pagi, tidak nampak jelas bentuknya, tetapi membuat seluruh udara terasa berat. *Pertanyaan yang paling berat adalah apakah saya sebaiknya berhenti saja sebagai dokter spesialis konsultan, yang telah 20 tahun lebih saya jalani, karena hal yang sama, seperti dr R, bisa saja terjadi pada saya dan seluruh dokter di Indonesia, mulai dokter umum sampai dokter spesialis konsultan dengan gelar professor doktor subspesialis tertentu, dengan ribuan jam terbang di meja operasi atau bangsal perawatan*.

Saya bertanya dalam diam: Mengapa profesi yang bertahun-tahun dipersembahkan untuk menolong manusia justru bisa dalam sekejap berubah menjadi jalan menuju penjara?

Pertanyaan ini bergema di dalam diri, dan saya tak tahu kapan akan berhenti.

Ada yang berubah dalam perjalanan waktu. Dahulu, dokter dipandang sebagai penjaga kehidupan, pelita yang menyala ketika manusia berada di ambang gelap. Hari ini, pelita itu seperti disandarkan pada bara api tuduhan, siap padam kapan saja oleh ketidaktahuan, kesalahpahaman, tekanan publik, atau ketergesa-gesaan penegak hukum.

Saya tidak ingin menilai kasus dr. R. Saya tidak ingin membela atau menyalahkan siapa pun. Tetapi saya ingin mengungkapkan rasa yang tumbuh dari peristiwa ini: bahwa ketika seorang dokter diperlakukan serupa kriminal sebelum proses kebenaran terungkap, ada bagian dari martabat profesi kedokteran yang terluka.

Profesi dokter adalah profesi yang bekerja dalam ketidakpastian. Tidak ada jaminan kesembuhan, tidak ada kepastian hidup dan mati. Yang ada adalah ikhtiar, ilmu, pengalaman, doa, dan harapan.

Namun, ikhtiar itu kini harus berjalan di atas bayang-bayang yang menakutkan, bayangan bahwa setiap tindakan yang niatnya menyelamatkan nyawa bisa menjadi bukti untuk menjerat pelakunya.

Bagaimana mungkin profesi yang dibangun di atas sumpah justru diruntuhkan oleh prasangka?

Saya teringat wajah para dokter yang saya kenal: mata yang lelah karena malam panjang, tangan yang gemetar ketika mencoba menyelamatkan pasien kritis, air mata yang jatuh diam-diam di ruang jaga ketika nyawa tak bisa dipertahankan. Tidak ada satu pun yang berjalan dengan keangkuhan. Tidak ada yang bangga ketika gagal. Profesi ini terlalu berat untuk kesombongan.

Dan kini, lebih berat lagi ketika kesalahan prosedur diperlakukan sama dengan kejahatan. Ketika kegagalan penyembuhan tidak dibedakan dari kelalaian pidana. Ketika manusia yang sudah berjuang ditarik dari ruang jaga menuju ruang tahanan tanpa ruang penjelasan.

Saya membayangkan bagaimana perasaan dr. R saat rompi oranye itu dikenakan, bukan pada tubuhnya saja, tetapi pada seluruh perjalanan hidupnya: tahun-tahun pendidikan panjang, malam-malam jaga, pengorbanan keluarga, pasien-pasien yang ditolong, dan mimpi-mimpi yang diperjuangkan.

Semua seperti hilang seketika.

Dilipat seperti kertas, digeser ke pinggir, digantikan oleh satu kata saja: “tersangka.”

Saya bukan sedang meminta dokter untuk diletakkan di atas hukum. Tidak. Justru hukum harus menjadi pelindung bagi semua pihak, termasuk dokter dan pasien. Tapi saya berharap proses menuju kebenaran tidak dilakukan dengan cara yang melukai martabat profesi. Rompi oranye bukan hanya simbol penahanan; ia simbol kriminalisasi. Dan ketika dokter diperlakukan demikian sebelum kebenarannya diuji, yang terguncang bukan hanya satu orang, tetapi seluruh profesi yang berdiri di belakangnya.

Ada pepatah lama:

“Kebenaran itu cahaya, tetapi cahaya tidak pernah datang melalui keributan.”

Dan saya percaya, keadilan tidak akan muncul dari gebyar sorotan, tetapi dari proses yang jernih, tenang, dan bijaksana.

Menjadi dokter kini bukan hanya soal ilmu dan empati; tetapi juga *keberanian*. Keberanian untuk tetap menolong meskipun bayangan hukum terus mengikuti di belakang. Keberanian untuk tetap menjaga pasien meskipun risiko personal semakin besar. Keberanian untuk tetap manusiawi meskipun dunia sering kali tidak manusiawi.

Saya teringat kata-kata bijak yang menenangkan:

*“Yang penting bukan seberapa gelap langit di atas kita, tetapi seberapa kuat kita menjaga cahaya di dalam diri.”*

Hari ini langit profesi dokter terasa gelap. Tetapi saya yakin cahaya itu belum padam. Ada terlalu banyak dokter yang berjuang dengan hati bersih, terlalu banyak tenaga kesehatan yang bekerja dalam kesunyian tanpa mengharapkan pujian. Selama mereka masih ada, harapan itu tetap menyala.

Ketika saya memikirkan rompi oranye itu lagi, rasa gundah itu masih ada, dan mungkin akan lama ada. Tetapi dari gundah itu muncul satu tekad: bahwa profesi dokter harus diperjuangkan agar tetap bermartabat, dihargai, dan dipahami.

Karena profesi yang lahir dari niat menolong tidak boleh dibiarkan menjadi profesi yang ditakuti karena ancaman kriminalisasi.

Dan saya berharap, suatu hari nanti, tidak ada lagi dokter yang harus mengenakan rompi oranye sebelum kebenaran benar-benar berbicara.

Malang, 23 November 2025

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *