*Kasus Pisang Tumbuh Sawit, Marwan: “MA Hukum Kami, Tapi Pelaku Asli Masih Gentayangan”*

Editor: Yopi Herwindo

Caption: Ilustrasi (Ai)

*Pangkalpinang* – “Hukum macam apa ini…” kalimat itu meluncur dengan nada getir dari bibir *Marwan*, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, usai mendengar putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan dirinya bersalah dalam kasus yang dikenal dengan istilah “kasus pisang tumbuh sawit”.

 

Padahal, menurutnya, penjahat sebenarnya dari kasus itu sudah terang-benderang: tiga perusahaan besar yang selama ini menguasai lahan sawit di luar izin HGU dan IUP, masing-masing *PT. BAM* milik politisi sekaligus pengusaha *Rudianto Tjen*, *PT. SAML* yang dikendalikan oleh *Datu Ramli Sutanegara*, serta *PT. FAL* yang dipimpin *Joni Laurence*.

 

“Mereka sudah mengakui dalam persidangan, tapi anehnya sampai sekarang belum ada satu pun yang diproses oleh kejaksaan. Sementara kami yang menjalankan tugas sesuai aturan justru dinyatakan bersalah. Ini kezaliman hukum yang harus dilawan,” ucap Marwan dengan nada tegas saat diwawancarai, Jumat (8/11/2025).

 

Kasus “pisang tumbuh sawit” memang menyita perhatian publik di Bangka Belitung. Istilah itu mengacu pada temuan ribuan hektare lahan perkebunan sawit yang tumbuh subur di atas kawasan yang seharusnya ditanami pisang, sesuai izin yang dikeluarkan pemerintah.

 

Dugaan kuat, lahan tersebut dikelola tanpa izin resmi oleh sejumlah perusahaan besar.

 

Dalam proses hukum sebelumnya, *Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang* sempat *membebaskan Marwan*, karena tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dituduhkan oleh jaksa penuntut umum.

 

Namun, putusan itu dibatalkan di tingkat *kasasi Mahkamah Agung*, yang justru *mengabulkan kasasi jaksa dan menjatuhkan vonis enam tahun penjara* kepada Marwan.

 

Putusan tersebut sontak menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum di daerah.

 

Sebab, hingga kini belum ada proses hukum berarti terhadap perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut sebagai aktor utama dalam dugaan pelanggaran lahan tersebut.

 

Marwan menegaskan bahwa selama menjabat sebagai Kadis BLHD, dirinya selalu berpegang pada prinsip penegakan hukum lingkungan dan tidak pernah menerima gratifikasi ataupun keuntungan pribadi. Ia bahkan mengaku menjadi “korban politik dan kepentingan besar” di balik bisnis sawit raksasa di Bangka Belitung.

 

“Saya hanya menjalankan tugas sesuai aturan, tapi ternyata keadilan di negeri ini bisa dibeli oleh mereka yang punya kekuasaan dan uang. Ini bukan lagi soal hukum, ini soal keberanian melawan sistem yang sudah bobrok,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Beberapa pengamat hukum di Bangka Belitung juga menilai bahwa kasus ini berpotensi menjadi contoh nyata ketimpangan penegakan hukum antara pejabat publik dan korporasi besar. Mereka mendesak *Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)* untuk turun tangan memeriksa keterlibatan perusahaan-perusahaan yang disebut Marwan dalam persidangan.

 

“Jika benar ada pengakuan di pengadilan, mestinya itu menjadi pintu masuk untuk menjerat pelaku sebenarnya. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” ujar salah satu aktivis hukum yang enggan disebutkan namanya.

 

Kini, publik menanti langkah hukum berikutnya dari Marwan dan kuasa hukumnya yang disebut tengah mempersiapkan *upaya peninjauan kembali (PK)*. “Saya tidak takut. Kebenaran akan menemukan jalannya,” tutup Marwan dengan suara bergetar, menandai babak baru perjuangannya melawan apa yang ia sebut sebagai *kezaliman hukum* di negeri ini.

(Faras Prakasa/KBO Babel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *