BANGKA,BN16 BANGKA
*BANGKA —* Aktivis sosial Edi Irawan ST kembali menyuarakan pentingnya keterbukaan informasi publik di tengah minimnya kepedulian banyak instansi pemerintahan di Bangka Belitung pada Sabtu (26/7/2025). Kali ini, Edi hadir sebagai narasumber dalam acara *Ngaji Hukum: Memahami Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik* yang digelar oleh Majelis Taklim Berkumpul, Desa Puding Besar. Minggu (26/7/2025).
Uniknya, diskusi hukum ini digelar di tengah majelis yang biasa mengaji kitab klasik “Al Hikam” — kitab kuning yang jadi rujukan banyak pesantren dan sekolah agama Islam di Indonesia.
Di sinilah terlihat kolaborasi lintas ilmu: antara hukum agama dan hukum negara, antara spiritualitas dan kesadaran hak sipil.
Dihadiri oleh warga dari 11 desa di Kabupaten Bangka, seperti Puding Besar, Mabat, Bakam, Dalil, Kemuja, dan Sleman, forum ini menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap hak-hak mereka yang selama ini terabaikan.
Dari yang semula hanya mengaji, kini mereka mulai membuka diri terhadap diskusi soal hak memperoleh informasi, hak berkumpul, dan hak menyebarkan pengetahuan secara legal dan bertanggung jawab.
“Ini hal yang menarik dan menggembirakan. Warga mulai memahami bahwa mereka punya hak untuk tahu, untuk bertanya, bahkan untuk menggugat bila perlu. Keterbukaan informasi itu taman tumbuhnya pikiran sehat dan masyarakat cerdas,” ujar Edi di depan hadirin.
Dalam forum itu, Edi tak ragu menyampaikan kritik tajam terhadap sikap tertutup banyak dinas di Bangka Belitung yang menurutnya abai terhadap amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Undang-undang ini sudah 17 tahun lahir, tapi terasa hilang dari birokrasi kita. Banyak dinas yang dengan sengaja mempersulit akses informasi, padahal itu hak masyarakat. Saya sendiri pernah mengalami langsung. Mereka cari-cari alasan, wajahnya tebal, seperti tak punya malu,” kata Edi tegas.
Ia menekankan bahwa badan publik tak boleh berdalih tidak tahu. Karena semua kegiatan yang menggunakan anggaran negara — baik APBN maupun APBD — otomatis menjadi informasi publik. Rakyat berhak tahu bagaimana uang mereka digunakan.
Edi juga mengingatkan, perjuangan menghadirkan undang-undang ini bukanlah proses singkat.
Butuh sembilan tahun tarik ulur sejak gerakan masyarakat sipil dimulai pasca-reformasi.
“Ini bukan hadiah, ini hasil perjuangan. Ada sejarah di baliknya. Ada keringat masyarakat sipil yang menuntut hak dasar mereka: hak untuk tahu,” katanya.
Diskusi yang dimoderatori oleh tokoh muda lokal, Sdr. Adi, berlangsung hangat dan membuka cakrawala berpikir peserta.
Bagi Edi, ini bukan sekadar advokasi hukum, tapi juga gerakan budaya menuju peradaban baru yang menghargai akal sehat dan partisipasi rakyat.
“Percakapan ini adalah mutiara. Saya berterima kasih kepada panitia dan warga desa. Pemerintah Provinsi Babel seharusnya mendukung penuh inisiatif seperti ini. Kita butuh lebih banyak ruang belajar kritis seperti ini,” pungkas Edi sambil tersenyum.